Ilustrasi by Faiz Shihab Tim Media |
Tulisan ini dimuat sebagai upaya untuk pengingat dikalangan Warga Nahdliyin terkhusus di Kabupaten Garut terkait pembahasan Islam Nusantara. Selain dari pada itu,
membuat sebuah gambaran bagaimana wacana Islam Nusantara pernah jadi sebuah
perbincangan hangat bahkan sampai hari ini serta gambaran dasar bagi Warga
Nahdliyin yang mau mencoba memahami bagiamana Islam Nusantara beserta argument-argumen
yang melatar belakanginya. Catatan ini merupakan beberapa ringkasan dari hanya segelintir tulisan yang mebahas terkait Islam Nusantara.
Semenjak di kumandangkannya jargon Islam Nusantara
pada muktamar ke-33 tidak henti mendatangkan perdebatan. Perdebatan tersebut
dimulai dari orang yang memang memiliki kapasitas keilmuan atau mereka yang
hanya menaruh sentiment negatif terhadap Nahdlatul Ulama atau personal yang
berada di jajaran PBNU. Sikap PBNU sendiri yang tidak menerbitkan manuskrip
pegangan untuk warga NU sekan sengaja mengundang perdebatan tersebut.
Dunia saat ini sedang melirik Indonesia untuk menjadi
pusat peradaban islam, karena memang kondisi timur tengah sudah tidak lagi
mendapat kepercayaan. Dunia seringkali dibingungkan dengan keadaan ribut yang
berada di timur tengah (KH. Mustofa Bisri atau Gusmus).
Hal tersebutlah
mungkin yang menjadi alasan justru PB NU membiarkan perdebatan ini mengalir.
Karena dengan tidak ada ditetapkannya satu definisi dan Batasan, seolah sengaja
mengundang intelektual (ulama) untuk terlibat aktif mendiskusikan konsep yang
akan ditawarkan kepada dunia. Maka sesuai dengan harapan tersebut puluhan
mungkin sampai ribuan tulisan dibuat untuk menjelaskan definisi dan batasan
terhadap Islam Nusantara.
Sekelumit Persoalan
Islam Nusantara
Persoalan Islam
nusantara yang paling dasar adalah mengenai definisi itu sendiri. Wajar saja
karena memang inilah yang menentukan akar dan nilai serta batasan. Inilah yang
menajadi dasar dari segudang perdebatan dari mulai yang nyinyir sampai kepada
apresiatif terhadap gabungan kata islam nusantara.
Persoalan selanjutnya
adalah persoalan asal muasal (epistemologi) dari Islam Nusantara. Genealogi dari islam Nusantara inipun menjadi
sebuah perdebatan menarik. Hal ini menyangkut apakah isalm Nusantara sebagai
ajaran baru atau hanya sebatas pengkhususan tertentu. Sama halnya seperti
definisi hal ini cukup banyak mengundang perdebatan dikalangan ulama maupun
orang yang baru tau agama.
Perdebatan yang lain
yang tidak kalah menarik dan panjang adalah bentuk dan nilai. Seperti apa tata
nilai yang diinginkan oleh islam nusantara, hal tersebut adalah kelanjutan dari
dua hal diatas. Ketika sudah terdefinisikan dan asal usulnya sudah dapat
dilacak maka tata nilai ini menjadi lahan perdebatan berikutnya. Silang
pendapat yang cukup alot ini tidak hanya terjadi dikalangan NU dan non-NU
melainkan juga di internal pengurus NU itu sendiri.
Definisi Islam
Nusantara
Ada beberapa
pendekatan yang coba ditampilkan untuk membahas apa itu Islam Nusantara.
Pembahasan pertama yang tidak boleh dilewatkan adalah pendekatan ke-tata
Bahasa-an. Kyai-kyai NU meberikan pendekatan gramatika bahasa arab untuk
menampilkan definisi Islam Nusantara. Kyai
Affifufin Muhajjir dalam forum diskusi Ketika Muktamar NU Jombang mengatakan
bahwa “Islam Nusantara” merupakan Tarkib Idhofi. Sehingga kemungkinan
maknannya ada tiga yaitu:
Pertama, memperkirakan huruf jar
fa sehingga dibacanya menjadi Islam fi nusantara. Maka kemungkinan
dari maknanya adalah islam yang difahami dan dipraktekan di bumi Nusantara. Atau
islam yang berkembang di bumi nusantara ini. Hubungan antara islam dan
Nusantara adalah hubungan ajaran dan tempat berkembanganya ajaran tersebut.
Kedua, memperkirakan huruf jar
ba sehingga jika di dzohirkan akan terbaca Islam bi Nusantara. Kemungkinan
dari makna tersebut adalah merujuk pada konteks geografis. Islam yang berada di
Nusantara. Jelas disini yang dimaksud Nusantara adalah Indonesia pada abad
modern. Meskipun ruang lingkup nusantara meliputi wilayah lainnya seperti
Brunei, Malaysia, Sebagian Wilayah Thailand, Formusa dan Madagaskar.
Ketiga, memperkirakan huruf jar
lam maka posisinya islam sebagai subjek dan nusantara sebagai objek. Sehingga
makna yang dihasilkan adalah pengejawantahan ajaran islam kepada masyarakat
nusantara.
Titik tekan dari
setiap definisi diatas bahwa eksistensi suatu agama tidak dapat dilepaskan dari
ruang lingkup sejarah manusia. Sehingga islam nusantara merupakan tinjauan
aspek sosio historis dari semenjak kehadiran islam berdialektika dengan budaya
nusantara. Islam Nusantara merupakan hasil kreasi kratif agama dan budaya.
Perlu diingat bahwa
hubungan dialektik antar islam dan budaya bukanlah satu hubungan yang saling
menegasikan. Melainkan sebuah perpaduan yang saling menyempurnakan diantara
keduanya. Sehingga pemahaman islam menyatu dengan kultur atau cara hidup
masyarakat dan ramah terhadap budaya. Islam Nusantara memungkinkan bahwa
hadirnya ajaran islam tidak mengusik kearifan yang ada apalagi sampai
memberengusnya.
Ide islam nusantara
bisa jadi merupakan kelanjutan dari pribumisasi islam seperti yang dikatakan
oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur). Berikut merupaka pendefinisian islam
Nusantara menurut beberapa pemikir yang pernah dimua dalam NU online
(www.nu.or.id)
Prof. Quraisy Shihab menjelaskan bahwa
Islam Nusantara menekankan subtansi bukan bentuk. Apabila
ada bentuk (budaya) yang secara substansi sesuai dengan Islam maka akan
diterima, jika bertentangan akan ditolak dan direvisi. Inilah prinsip Islam
dalam beradaptasi dengan budaya. Jadi Islam itu bisa bermacam-macam akibat
keragaman budaya setempat. Bahkan adat, kebiasaan dan budaya bisa menjadi salah
satu sumber penetapan hukum Islam.
KH. Mustofa Bisri (Gusmus) mengatakan bahwa
islam nusantara sebagai sistem nilai. dan penerapannya dalam menanggapi
masalah-masalah aktual dari waktu ke waktu. Prinsip-prinsip dasar yang dipakai
pedoman warga NU dan diresapi serta dipraktekan. Prinsip-prinsip tersebut ialah
seperti tasamuh (toleran), tawazun (seimbang/harmoni), tawassut (moderat),
ta’addul (keadilan), dan ‘amr ma’ruf nahi munkar. Islam Nusantara menurut Gusmus
ini ditempatkan dalam Aksiologi.
Faisal Ramdhoni, menjelaskan Islam Nusantara
dengan “islam sehari-hari”, yakni pelaksanaan ajaran Islam. Baik terkait tata
cara peribadatan, ritual, maupun tradisi keagamaan lainnya yang telah
dilakukan, diturunkan, serta ditanamkan oleh para leluhur dalam praktek
keagamaan keseharian masyarakat.
KH Afifuddin Muhajir menjelaskan Islam Nusantara merupakan pemahaman,
pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fikih muamalah sebagai hasil
dialektika antara nash, syariat, ‘urf, budaya, dan realita di
bumi Nusantara. Islam Nusantara hanya masuk dalam
wilayah hukum ijtihadiyyat yang bersifat dinamis, berpotensi untuk
berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi
tertentu. Tidak masuk pada wilayah syawabit qath’iyyat.
Rujukan Bacaan
Mujamil Qomar Jurnal “ISLAM
NUSANTARA: Sebuah Alternatif Model Pemikiran, Pemahaman,dan Pengamalan Islam”
Kumpulan Jurnal IAIN Tulung Agung
Khabibi
Muhammad Luthfi “Islam Nusantara: Relasi Islam dan Budaya Lokal”. Shahi
Vol. I 2016 LP2M IAIN Surakarta
Abdul
Moqsith “Tafsir Islam Nusantara : dari Islamisasi Nusantara hingga Metodologi
Islam Nusantara” Jurnal Fakultas Ushuludin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2016
Ahmad
Hilmy Hasan “Dasar Epistemologi dan Konsep Islam Nusantara ; dari NU Untuk
Dunia” Tulisan yang diperoleh dari Academi.edu di Publish November 2015 dan diakses
pada Mei 2020
Alma’arif
Program Doktor (S3) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta "ISLAM NUSANTARA: Studi Epistemologis
Dan Kritis"ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, Volume 15, Nomor 2, Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar